Thursday 29 September 2011

Bahagianya Andai Memiliki Keluarga seperti ini....

Senyumlah

Lembaran Hidup Wanita Solehah

7 Maratib Amal

Bermanfaat kepada Orang Lain




Ciri sebegini adalah umpama kemuncak kepada ciri-ciri yang ada. Boleh jadi kerana produk yang terhasil daripada buah dalaman yang cukup tinggi. Hasil proses iman telah melahirkan individu-individu yang tidak bersikap individualistik dalam hidup.

Hidup bahagia dengan memberi tanpa mengharap balasan. Segalanya hanyalah keinginan mardhotillah dan syurga-Nya. Apakah yang lebih terbaik selain mencapai kedua-dua perkara ini?

Manakah yang lebih menguntungkan di dunia selain kemerdekaan jiwa yang tiada tara.

Semuanya bermula dari hati. Saya dan sesiapa sahaja sedar akan hal ini. Akan tetapi, membumikannya bukanlah semudah yang diangankan. Daya tarikan dunia telah berapa kali merencatkan proses sebegini. Semoga Taufiq-Nya sentiasa melimpah kepada kita agar sifat dunia yang fatamorgana ini tidak mudah kita tertipu sama sekali.


Nurun Amni.

Mujahadah Melawan Diri


Bagaimana ya? Marilah kita baca apa yang ada di bawah.

Hidup seharian tidak mudah untuk istiqomah dengan kebaikan. Apatah lagi ketika menghadapi realiti kini yang melawan arus keimanan. Peribadi individu perlu dilentur dan dibentuk agar tidak mudah mengalahdengan cabaran dan kepayahan. Jika sebaliknya, peribadi tersebut akan hilang pedoman hidup. Justeru itu, tabah dan sabar serta yakin dengan diri bersama tawakal penuh kepada Allah menjadi proses penawar kesusahan.
Melawan dalam erti kata lain adalah suatu proses berperang dengan nafsu. Bukan satu dua jenis perlawanan yang akan dihadapi, malah ianya melibatkan pelbagai jenis nafsu. Nafsu amarah, syahwat, makan minum, berasa riak, sombong, dan sebagainya.
Tetapi, walau sering kali kita berasa mustahil menewaskan nafsu, yakinlah bahawa Allah tidak membebani sesuatu melainkan kita memang sanggup menghadapinya. Selalulah cari jalan mengecas motivasi baru untuk melawan nafsu ammarah kita. Dan akhir sekali Berdoa…..

sumber: http://main-mastermath.blogspot.com/2011/04/muwasofat-tarbiyahkuusah-berpeluk-tubuh.html

Nur Farah Aisyah.

Warkah Si Hijau : Sumayyah

Mari kita lihat apakah kata Warkah Si Hijau.

Warkah Si Hijau :

Salam Ta'zim kepada pembaca semua. Pernahkah Kita mendengar dan membaca kisah-kisah srikandi islam ? Jikalau pernah... syukur Alhamdulillah... 
Jika Tidak ? 
Bacalah kerana InsyaAllah kita boleh menjadikan mereka ini semua role model terutama kaum wanita. 
Kita lihat bagaimana ketabahan seorang wanita yang dizalimi oleh manusia ? Mengapa kita tidak mahu mencontohi ketabahan beliau ? Sanggup mempertahankan agama Islam Demi keEsaannya terhadap Maha Pencipta .
Ana menyeru golongan muslimin & muslimat termasuk diri ana sendiri untuk sama-sama kita bermuhasabah diri agar kita tidak terus menerus melakukan maksiat. Islam agama yang Indah . 
Adakah anda semua sanggup orang mengatakan Islam Hanya pada Nama ? 
Oleh itu marilah kita semua golongan muda khasnya memelihara agama Allah Swt ini.Mengapa kita ?
Kerana Kita Kena Ingat, Kita lah Penyambung warisan untuk mempertahankan agama Islam Ini. 
Jika Kita menolong agama Allah? Maka Allah Swt juga akan menolong kitayang penting apa yang kita lakukan biarlah ikhlas tanpa mengharapkan sebarang balasan.

Akhir kalam, ana minta maaf banyak-banyak sekiranya terdapat silap dan salah semasa ana menyuarakan pendapat. segala komen dan cadangan bolehlah dihantar dalam blog warkah si hijau ini, Insyaallah. Jazakumullahuhairan kasiran.

Wednesday 28 September 2011

Kisah Gadis Kecil yang Solehah

Bacalah kisah ini...


Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:
Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.
Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok tersebut.

Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang ma’ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.
Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.
Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:
Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan. Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: “Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!”
Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: “Mama, aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam.” Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.
Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai pamannya tersebut.
Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?
Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: “Sakit ringan di kakiku.” Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: “Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah.” Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.
Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.
Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata: “Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah.” Akupun mendekatkan dia di dadaku sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: “Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku.”
Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat kepadanya dengan tercengang!!
Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!
Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.
Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya berkata: “Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku.”
Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: “Apakah engkau seorang muslimah?” Dia menjawab: “Tidak.”
Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.
Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.
Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger. Afnan bertanya kepadanya: “Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?” Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: “Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna.” Temanku tersebut berkata: “Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati.”
Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!
Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.
Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu’ dan shalat, tanpa ada seorangpun yang membangunkannya!!
Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.
Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.
Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata: “Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat.” Kukatakan: “(Mimpi) yang baik Insya Allah.” Dia berkata: “Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi.”
Akupun bertanya kepadanya: “Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut.” Dia menjawab: “Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas perpisahanku.” Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.
Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: “Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu.” Maka diapun menciumku. Kemudian dia berkata: “Aku ingin mencium pipimu yang kedua.” Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: “Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah.”
Maka dia berkata: “Asyhadu alla ilaaha illallah.”
Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: “Asyhadu allaa ilaaha illallaah.” Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata: “Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah.” Dan keluarlah rohnya.
Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillahi rabbil ‘aalamin. (AR)*

Mahkota Untuk Ayah

Mahkota Untuk Ayah... baca lah



“Ayah, maafkan Udin. Andai Udin tahu hasrat ayah. Andai Udin tahu impian ayah. Andai Udin tahu rahsia hati ayah. Udin takkan bantah cakap ayah. Udin akan mengaji Quran sungguh-sungguh dengan Ustaz Naim. Udin akan tunaikan impian ayah kala ayah masih disisi,” sayu kedengaran suara Ustaz Saifuddin.

Jiwanya dibentur gundah. Dia baru usai menghadiahkan bacaan Yassin buat ayah. Ustaz Saifuddin mengusap-usap lembut batu nisan. Seakan-akan dia membelai kepala ayah. Raut wajahnya terpampang rasa terkilan.

“ Udin buka kelas Al-Quran untuk orang-orang tua sekarang. Udin mengajar sepenuh masa di situ. Ramai pakcik-pakcik dan makcik-makcik datang mengaji. Seronok Udin tengok semangat mereka. Bersungguh-sungguh benar mereka mahu belajar Al-Quran. Kalau ayah ada…,”

Udin tidak dapat meneruskan bicara. Kerongkongnya terasa perit. Air yang bertakung di tubir mata sudah lama berjujuhan.

“Ayah, semalam Udin mimpi. Udin lihat ayah dipakaikan mahkota yang sinarnya terang benderang. Lebih bercahaya dari sinar matahari. Wajah ayah berseri-seri. Ayah pandang Udin. Ayah senyum. Tak pernah Udin tengok ayah senyum semanis itu. Kalau boleh, waktu itu Udin tidak mahu celikkan mata. Biarlah Udin terus pejam dan menikmati senyuman ayah. Adakah ayah sudah ampunkan Udin? Ayah, Udin rindukan ayah,” Ustaz Saifuddin menyeka air mata yang kian tidak terbendung.
**********************************************

Wajah Udin berkerut menahan sakit. Rasa tidak puas hati menyembur-nyembur dari anak matanya. Dikerling betis yang kini berbalar. Kesan-kesan merah tampak jelas. Air mata ditahan. Tidak dibenarkan walaupun setitis gugur. Menangis ertinya lemah. Ayah tidak adil. Kenapa dia sahaja yang selalu kena marah. Kenapa dia sahaja yang selalu dirotan. Ayah memang tidak sayangkan dia. Ayah hanya sayangkan Kak Sarah.

Dia menjeling tajam ke arah Kak Sarah. Geram membuncah di hati melihat muka selamba Kak Sarah yang seolah-olah mengejek-ejeknya. Kak Sarah memang sengaja hendak kenakan dia. Kak Sarah memang gatal mulut. Kak Sarah tidak patut memaklumkan ayah tentang hal dia mandi di sungai hujung kampung sekaligus tidak menghadiri kelas agama. Kak Sarah memang menyibuk.

Muqaddam dan papan rehal di atas meja diregut kasar. Kakinya sengaja dihentak-hentak ketika berjalan. Berdetap-detup bunyi papan lantai dipijak.

“ Nanti!” Kak Sarah menahannya.

“Apa lagi!” sergah Udin. Mukanya merona merah.

“Tak mahu pakai kopiahkah?” Kak Sarah berlembut. Cuba menyiram api kemarahan adiknya.

Cepat-cepat Udin merabut kopiah lusuh di tangan Kak Sarah. Ternyata Kak Sarah gagal menyejukkan hati Udin. Udin lemas selalu dileteri ayah. Ayah selalu membanding-bandingkan dirinya dengan Kak Sarah. Ayah selalu memuji-muji Kak Sarah. Memang dia tidak nafikan Kak Sarah punya banyak kelebihan berbanding dirinya. Darjah tiga Kak Sarah sudah khatam Al-Quran. Setiap tahun Kak Sarah naik ke pentas menerima anugerah pelajar cemerlang.

Dengan keputusan yang memberangsangkan dalam UPSR Kak Sarah dapat melanjutkan pelajar di sebuah sekolah menengah sains. Memang Kak Sarah menjadi kebanggaan ayah dan emak. Sebaliknya, Udin masih membaca Muqaddam walaupun kini sudah berusia sepuluh tahun. Namanya kerap juga dipanggil waktu perhimpunan kerana tidak siap tugasan yang diberi oleh guru ataupun ponteng kelas.

Dia lebih suka menghabiskan sepanjang petang memancing ikan atau mandi sungai di hujung kampungnya daripada menghadiri kelas agama. Kadang-kadang dia berbasikal hingga ke kampung seberang semata-mata mahu bermain bola sepak. Pada malam hari, budak-budak lain terkocoh-kocoh pergi mengaji di rumah Ustaz Naim, Udin bersama-sama dua tiga rakannya yang lain seronok berlumba basikal di atas ban.

Ayah rungsing memikirkan tentang anak jantannya yang seorang ini. Degilnya bukan sedikit. Puas Udin dirotan dan dihukum oleh ayah. Pernah ayah mengikat Udin pada batang pokok rambutan di belakang rumah kerana ponteng kelas mengaji. Habis badan Udin merah-merah digigit kerengga. Pernah juga Udin dikurung di luar rumah kerana pulang dari bermain lewat petang. Namun, insafnya hanya bertahan beberapa hari sahaja. Kemudian Udin kembali dengan sikap bebalnya.

Lantaran itu, Udin acapkali dimarahi dan dileteri ayah. Tiada hari yang dilalui Udin tanpa bebelan dan jalur-jalur merah pada tubuh kecilnya. Mujur ada emak. Emaknyalah yang selalu mempertahankannya apabila dia dimarahi ayah. Ketika ayah mengangkat rotan, Udin cepat-cepat berlindung di belakang emaknya.

“ Esok kita akan bertolak selepas subuh. Pakaian dan barang-barang keperluan dah siap dikemas Udin?” suara garau ayah mengejutkan Udin. Lamunannya terganggu. Raut wajah ayu Fatimah, anak Haji Hussain yang bermain-main dalam anak matanya sebentar tadi pecah berkecai.

“ Sudah ayah,” Udin gugup. Matanya disapa sayu.

Esok Udin akan berpisah dengan Fatimah. Udin akan dihantar melanjutkan pelajar di sebuah pondok di Kelantan. Keputusan UPSR yang corot menyebabkan dia tidak berjaya menempatkan diri di mana-mana sekolah menengah berasrama penuh mahupun sekolah menengah sains. Ayah mengambil keputusan menghantar Udin mendalami ilmu agama. Itu memang impian ayahnya selama ini. Ayah tidak mahu Udin bergaul lagi dengan rakan-rakan yang biadap tingkahnya.

Pada mulanya Udin berasa tertekan amat. Udin terkongkong dengan pelbagai peraturan dan pantang larang sepanjang berada di pondok. Kebebasan bermain dan merayau-rayau bersama rakan-rakan yang pernah dinikmati suatu masa dulu tidak dapat dilaksanakan lagi kini. Setiap hari, Udin perlu menghadap Al-Quran. Bukan sekadar membaca, menghafal malah! Udin juga perlu mengulit pelbagai kitab-kitab tebal seperti Fathul Muin, Riyadhus Salihin dan Ihya Ulumuddin.

Segala kerja rumah harian seperti membasuh, melipat dan menyeterika baju terpaksa dilakukan sendiri. Udin agak ketinggalan berbanding sahabat-sahabat lain kerana Udin masih merangkak-rangkak membaca Al-Quran. Lantaran itu, dia tidak dapat menghantar banyak hafalan baru sewaktu tasmi dengan ustaz. Penguasaan bahasa arabnya juga lemah.

Pernah disuarakan pada ayahnya untuk berhenti belajar di pondok dan menyambung saja pengajian di sekolah menengah biasa. Namun ayah tidak ambil pusing. Mahu tidak mahu, Udin cuba menyesuaikan diri. Dia cium tangan, pipi dan dahi panas ayah seperti biasa pagi Jumaat itu sebelum bertolak pulang ke pondok selepas menghabiskan cuti beberapa hari di rumah.

Ketika usai solat asar petang hari yang sama, mudir madrasah, Ustaz Syukri tergesa-gesa berjumpanya. Dia terjelepuk longlai mendengar berita pemergian ayah. Petang itu juga dia pulang semula ke kampung halamannya. Bagai mimpi. Sabtu keesokan hari Udin mencium pipi dan dahi sejuk ayah yang tidak lagi bernyawa.

Kata emak ayah meninggal ketika menanti waktu asar menjelang. Tiba-tiba sahaja jantungnya gagal berfungsi.Wajahnya masih dibasahi titisan air wudhuk kala malaikat maut bertandang. Udin harapan ayah. Udin sandaran ayah. Suatu hari nanti, apabila Udin sudah pandai mengaji dan mahir ilmu Al-Quran ,ayah mahu belajar dengan Udin. Ayah tidak tahu baca Quran. Ibu hendak ajarkan dia tidak mahu. Ayah hendak Udin yang ajarkan dia.

Setiap hari dia panjatkan doa agar Allah lembutkan hati Udin dan mudahkan Udin belajar Quran. Ayah malu untuk berguru dengan Ustaz Naim. Katanya sudah senja sangat untuk berguru lagi. Bicara ibu beberapa hari selepas ayah dikebumikan bersimpongang di indera dengar Udin. Tiada air mata yang tumpah kala itu. Bukan Udin tidak sedih. Bukan Udin tidak tersentuh. Cuma segala-galanya berlaku tanpa diduga.

“Orang yang membaca Al-Quran sedangkan dia mahir melakukannya, kelak mendapat tempat di dalam Syurga bersama-sama dengan rasul-rasul yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Quran,tetapi dia tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan nampak agak berat lidahnya yakni dia belum lancar, dia akan mendapat dua pahala. Hadis ini diriwayat oleh Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Al-Hujjaj bin Muslim Al-Qusyaiy An-Nisabury dalam dua kitab Shahih mereka,” Ustaz Syukri menyejukkan hati Udin tika Udin mengadu kesukarannya membaca Al-Quran apatah lagi menghafalnya.

“ Ustaz, bagaimana mungkin saya lakukan untuk membantu ayah yang tidak mengenal huruf-huruf Quran jauh sekali membacanya?” udin melontar pertanyaan yang terbuku dalam hatinya. Ustaz Syukri mengelus-elus janggutnya yang kian memutih. Air mukanya tenang. Hati pasti akan damai memandang kejernihan wajahnya.

“ Udin ajarlah ayah. Di sini Udin belajar sungguh-sungguh ilmu Quran. Kemudian bila pulang ke kampung Udin kenalkan ayah dengan Kalamullah ini. Ingat, sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. Orang tua ini selalunya ego. Dia segan nak pergi belajar dengan orang lain. Tentu dia malu. Mungkin dia akan lebih selesa jika yang mengajarnya itu darah dagingnya sendiri,” Ustaz Syukri menepuk-nepuk lembut belakang badan Udin.

“Tapi ayah Udin sudah tiada lagi...”Udin bersuara. Perlahan.Dia menekur hamparan hijau yangdijadikan alas duduk. Angin yang menyembung dari ruang tingkap bertiup kasar menampar-nampar tubuh Udin. Angin seperti mengutuk Udin kerana dosa-dosa lampau pada ayah. Sedih mengasak-ngasak sukma.

“Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, Allah memakaikan pada kedua orang tuanya di hari kiamat suatu mahkota yang sinarnya lebih bagus dari pada sinar matahari di rumah-rumah di dunia. Maka bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang mengamalkan ini,” Ustaz Syukri memetik kembali hadis riwayat Abu Dawud yang pernah dibaca sewaktu dalam kelas Al-Quran.

Ketika itu mereka sedang menekuni kitab At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran karangan Imam Nawawi. Udin tertegun. Udin menyeka air matanya. Wajah Ustaz Syukri direnung. Ada semangat menyelinap dalam lipatan hatinya. Biar dia masih bertatih membaca Kalam Allah. Biar dia tidak hebat seperti Kak Sarah dalam pelajaran. Biar sahabat-sahabat jauh meninggalkannya di belakang. Dia tidak akan putus asa.Dia akan mendalami bersungguh-sunggguh ilmu Quran dan mengamalkannya.

Dia mahu hadiahkan ayah mahkota itu. Dia mahu ayah miliki mahkota itu dan menghuni syurga Ilahi walau ayah tidak pernah menyelak lembaran Quran apatah lagi membacanya. Angin kembali berpuput mesra. Seolah-olah memujuk udin. Seolah-olah merestui impiannya.

Jangan Berputus Asa Memohon Ampun Pada Allah !

Janganlah kita berputus asa dengan Allah! Mohonlah pengampunanNya, Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang! Bacalah artikel di bawah ni.
Artikel ini adalah sebuah monolog. Cuba letakkan anda di dalam watak "aku" tersebut...
Saat manusia memandang dia seorang yang mulia, saat semua manusia memandang dia seorang yang indah pekertinya, hanya dirinya tahu siapa dia di mata Tuhannya. Airmatanya menitis satu persatu mengenangkan dosa dosa yang menghantui perjalanan hidupnya. airmata hangat terus menerus membasahi pipi tika bersimpuhnya seorang hamba menghadap Allah.
Dia adalah aku. seorang hamba Allah  yang tidak terhitung dosanya, yang tidak pernah sesal melakukan dosa. Hari–hari aku melakukan dosa, hari–hari aku selalu melupakannya, hari–hari aku sibuk dengan dunia. Allahurabbi, Hamba jenis apakah aku ini, aku berulang kali berkata mahu syurga namun tetap juga aku melakukan dosa. Hinanya aku ya Allah...
Terbuai... Aku hilang... hilang dalam kegelapan dunia yang begitu mengasyikkan. Aku cuba mencari diri kembali. Diri yang entah kemana aku campaki. Adapun diri hanya ada diri sahaja tanpa roh yang penuh dengan nilai islami. Solat hanya menjadi rutin, jemaah ke mana, semua dirasakan berat sahaja, yang peliknya aku berjemaah di facebook kerap pula... Allah... Aku katakan aku mencintaimu namun, itu hanya kata – kata yang manis menghiasi bibir. Dari segi amalan, tidak pula menggambarkan kecintaanku kepadaMu.
Aku ingin bertaubat. Aku ingin bertaubat. Dosaku menggunung tinggi. Tinggi terlalu tinggi. Ingin ku jejaki syurga yang diidami.. tapi adakah Allah mahu mengampuni dosa – dosaku ini? Sekali lagi hati ku teriak, meraung selantang – lantangnya.. Allah... Ampuni aku Ya Allah... Ampuni aku Ya Allah... kepala ku di hentak ke dinding. Sakit. Itu yang ku rasakan... tapi aku sedar. Azab neraka itu lagi sakit... sekali lagi hati ku berteriak. Allah... Ampuni aku..
Aku kaku.. lalu ku buka lembaran yang penuh dengan ayat – ayat cinta Allah yakni al – Quran.. aku terlihat pada sepotong ayat yang bermaksud.. “ Wahai hamba – hambaKu yang melampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Mengampuni dosa – dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Az – Zumar : 53)
Hatiku seolah berbisik , “wahai diri, tidakkah cukup melegakanmu mendengarkan firmannya ini? Lihatlah Allah menyapamu dengan memanggil “wahai hamba – hambaKu”.. tidakkah ini cukup menyentuh hatimu?.. Allah juga melarang kamu berputus asa dalam memohon ampunan Allah dan Allah juga mengkhabarkan pula Dia akan mengampuni dosa siapa saja yang bertaubat kepadaNya. Allahuakbar. Dia Maha Pengampun wahai diri. Lihatlah betapa besarnya CintaNya kepada kita. sedarlah diri. Jangan berputus asa dalam mencari keredhaan ilahi. Teruskan taubatmu diri. Jangan putus asa lagi !”
Aku tekad tak kan berputus asa lagi !
Mari memburu keampunan ilahi demi keredhaan Allah yang hakiki !

Wahai anak Adam,
Sekalipun dosamu tertumpuk setinggi langit,
Mohonlah ampunan Allah, nescaya Dia akan mengampuninya..
Wahai anak Adam,
Sekiranya dosamu sepenuh isi bumi dan seluruh cakerawala ini,
Mohonlah ampunan Allah, nescaya Dia akan mengampuninya
Hayati lah firman – Nya yang bermaksud..
“Dan, orang – orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiayai diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa – dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?..”(Ali –Imran : 135)
“dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiayai dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, nescaya ia mendapati Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang (An – Nisa’ : 110)
Nurul Amni.